Latar Belakang Perundingan
Pemerintahan awal yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta adalah pemerintahan dengan sistem Kabinet-Presidensial. Ternyata sistem pemerintahan ini memiliki kelemahan. Indonesia dianggap sebagai negara fasis buatan Jepang, sehingga sulit memperoleh pengakuan dari pihak sekutu dan Belanda. Selain itu, Presiden Soekarno memiliki citra yang kurang baik di luar negeri karena ia dicap sebagai kolaborator Jepang.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dikeluarkanlah Maklumat Negara RI No.X tahun 1945. Maklumat ini berisi tentang perubahan KNIP menjadi badan legislatif dan mempunyai hak ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Untuk melaksanakan maklumat tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa revolusioner (Soebadio, 1987: 63-64), dan untuk itu ditunjuklah Sjahrir tokoh yang bersih dari pengaruh Jepang dan memiliki tempat istimewa di kalangan pemuda Indonesia. Kabinet presidensial Sukarno kemudian diganti oleh kabinet parlementer, dan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama (Raliby, 1953: 94). Kabinet Parlementer ini merupakan perwujudan perjuangan demokrasi melawan fasisme, sehingga diharapkan Republik Indonesia akan memiliki kedudukan yang kuat karena pemerintahannya dipimpin oleh seorang pejuang demokrasi yang bebas dari fasisme.
Dalam kepemimpinannya ia memilih cara elegan dalam menghalau penjajah, yakni melalui diplomasi, cara yang pada masa itu ditentang oleh tokoh revolusi lainnya yang lebih mengutamakan perjuangan fisik. Banyak pihak yang menganggap jalan yang dipilih Sjahrir terlalu jauh memberi konsesi pada pihak Belanda.
Salah satu cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan dari luar negeri yaitu dengan cara melakukan perundingan, mulanya Pemerintah Inggris yang ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirimkan Sir A. Clark Kerr, sedangkan pemerintah Belanda diwakili oleh Gubernur Jendral van Mook. Selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggungjawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat dari Inggris mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14-25 April 1946, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe ini, maka kemudian diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa Barat.
Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan status kemerdekaan Indonesia. Bermula ketika masuknya AFNEI yang datang dengan “memboncengi” NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November.
Perundingan Linggarjati diadakan pada tanggal 11 November samapai 13 November 1946, tetapi para delegasi sudah berada di Linggarjati pada tanggal 10 November. Tetapi hasil dari perundingan Linggarjati baru bisa di tandatangan pada bulan Maret 1947, dalam senggang waktu tersebut, para delegasi memperbaiki isi-isi dari perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu untuk menyetujui perjanjian Linggarjati. Pada mulanya gedung yang di jadikan lokasi perundingan di Linggarjati adalah sebuah penginapan, kemudian berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Mr. Ali Boediardjo bahwa mengusulkan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu Mrs. Maria Ulfah Santoso, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial RI.
Kemudian terpilihnya lokasi di Linggarjati adalah dari pengusulan Ibu Mrs. Maria, lalu ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan, sehingga ia mengenal betul daerah tersebut. Lokasi Linggarjati ini terletak dilereng gunung Ciremai yang memiliki hawa sejuk dan indah. Selain itu Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kedua pejabat tersebut kebetulan dari partai Sosialis. Sehingga keamanannya terjamin. Selain faktor-faktor tersebut. Dipilihnya Linggarjati sebgai lokasi perundingan adalah pada saat itu menghindari pengaruh dari Belanda di Jakarta, dan lokasi Ibu Kota negara dipindahkan ke Yogjakarta, sehingga dipilihnya Linggarjati adalah dilihat dari lokasi Linggarjati terletak di tengah-tengah antara Jakarta dan Yogjakarta. Selain itu faktor alam yang ketika itu daerah Linggarjati masih sepi, sekitar 10 rumah yang berada di sekitar gedung tempat perundingan, sehingga lingkungan sekitar juga mempengaruhi perundingan Linggarjati.
Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada saat itu telah mendapatkan kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pemerintah Belanda, dalam hal ini berwakilkan Komisi Jenderal, dan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia, atas dasar keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia. Dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang baik, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majelis-majelis perwakilan rakyatnya masing-masing.
Tokoh yang Terlibat
Tokoh yang berasal dari Indonesia:
1. Sutan Sjahrir
Sebagai orang yang pernah menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia merupakan arsitek perubahan kabinet Presidensial menjadi kabinet Parlementer. Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan. Ia selalu berkata bahwa cara mencapai kemerdekaan tidak selalu mesti menggunakan senjata. Sjahrir ingin menunjukan kepada dunia Internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-perang dunia II. Dibuktikan dengan mengadakan hubungan dengan luar negeri agar Indonesia mendapat dukungan, seperti India dan Australia contohnya. Sementara dalam negeri dibuktikan dengan mengadakan diplomasi terhadap Belanda yang pernah menjajah untuk mengakui Indonesia telah merdeka. Contohnya dengan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati saat ia menjadi perdana menteri.
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo
Mr. Soesanto Tirtoprodjo merupakan seorang kelahiran Solo, Jawa Tengah 1900-1969). Ia pernah menjadi menteri kehakiman dan menteri dalam negeri dalam enam kabinet yang berbeda, termasuk saat kabinet Sjahrir. Karena itulah dalam perundingan Linggarjati ia turut andil sebagai delegasi dari Indonesia. Mr. Soesanto juga ikut menandatangani perundingan ini sebagai bukti tanggung jawab pemenuhan tugasnya terhadap negara.
3. Dr. A. K. Gani
A.K Gani merupakan seorang kelahiran Sumatra Barat. Ia merupakan bagian dari susunan kabinet Syahrir, saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati. Sebagai delegasi ia memberikan sumbangan pemikiran dalam isi perundingan. Ketika penandatanganan isi perjanjian di Jakarta, A. K. Gani ikut menandatanganinya.
4. Mr. Mohammad Roem
Mr. Mohammad Roem merupakan delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati. Keterlibatannya dalam perundingan ini adalah karena ia menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia dalam kabinet Sjahrir III. (Natsir, 2009)
Adapun tokoh lainnya dari Indonesia yang berperan penting dalam perundingan Linggarjati ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin (menteri pertahanan), Mr. Ali Boediardjo (sekretaris). Semuanya merupakan notulen sekaligus para saksi dari Indonesia dalam perjanjian ini. Terdapat pula Lord Killearn yang merupakan seorang tokoh yang berasal dari Inggris. Ia merupakan pemimpin perundingan sekaligus penengah atau mediator dalam perundingan Linggarjati. Secara tegas perundingan Linggarjati berada dibawah pengawasan Killearn. Killearn merupakan commissioner khusus Inggris untuk Asia Tenggara.
Adapun Tokoh yang berasal dari Belanda yaitu Prof. Mr. Schermerhorn sebagai ketua delegasi Belanda, Dr. Van Mook sebagai anggota, Mr. Van Pool sebagai anggota, dan Dr. F. De Boer sebagai anggota.
Isi Perundingan Linggarjati
Sebagai kelanjutan perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati diadakan perundingan yang menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981:119).
Adapun isi dari Perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 Pasal dan 1 Pasal Penutup, yaitu:
Pasal 1
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut itu telah selesai.
Pasal 2
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
Pasal 3
Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan, bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan Negara Indonesia Serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu terhadap Kerajaan Belanda.
Pasal 4
(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1) pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibu-negerinya.
Pasal 5
(1) Undang-undang Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
(2) Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggung-jawab dari pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.
Pasal 6
(1) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerja bersama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia Serikat.
(2) Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao satu dengan lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini, Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
(2) Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan negara-negara itu.
(3) Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerja-bersama dalam hal perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 8
Di pucuk Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.
Pasal 9
Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
Pasal 10
Anggar-anggar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung ketentuan-ketentuan tentang:
a). pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain;
b). hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya;
c). aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;
d). pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan Bangsa-Bangsa.
Pasal 11
(1) Anggar-anggar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
(2) Anggar-anggar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.
Pasal 12
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.
Pasal 13
Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 14
Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
Pasal 15
Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan menurut hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan, supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.
Pasal 16
Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan balatentaranya masing-masing.
Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.
Pasal 17
(1) Untuk kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.
(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh perselisihan berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga perundingan antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan kepada arbitrage. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.
Pasal Penutup
Persetujuan ini dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya. (Natsir, 2010).
Kendala dalam Pembuatan Perundingan
Pada akhirnya Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, (Ricklefs, 2008; 472) karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut.
Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
Secara umum dikalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari kalangan nasionalis seperti dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama “Godam Jelata” ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis “Anti Linggarjati sampai mati”. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis yang tergabung dalam sayap kiri, dan oleh Soekarno-Hatta.
Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati bulan Mei 1947, Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia secara “de jure” sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. (Ricklefs, 2008).
Dampak Perundingan terhadap Asing
Dampak perundingan terhadap asing, dalam hal ini adalah Belanda, hasil perundingan ini tetap memberikan kesempatan untuk Belanda membangun kembali kekuatannya di Indonesia. Pada dasarnya pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Belanda mengharapkan bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan Indonesia, sebagai dalih atau kesempatan untuk bisa membangun kekuatan Belanda di Indonesia lagi (Fattah, 2009).
2.6 Dampak Perundingan terhadap Indonesia
Secara langsung, perundingan Linggarjati berisikan tentang pemindahan kekuasaan dari daerah yang diduduki oleh tentara sekutu dan Belanda secara berangsur-angsur. Namun hasil yang paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan oleh Belanda secara de facto terhadap kekuasaan pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Karena ini merupakan titik tolak eksistensi Indonesia dalam pandangan asing. Bukan hanya Belanda, perundingan linggarjati juga berdampak terhadap negara asing lainnya yang berangsur-angsur mengakui kekuasaan RI, diantaranya:
1. Inggris : 31 Maret 1947
2. Amerika Serikat : 17 April 1947
3. Mesir : 11 Juni 1947
4. Lebanon : 29 Juni 1947
5. Suriah : 2 Juli 1947
6. Afganistan : 23 September 1947
7. Burma : 23 november 1947
8. Saudi Arabia : 24 November 1947
9. Yaman : 3 Mei 1948
10. Rusia : 26 Mei 1948
Kesepakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus menjadi bagian pesemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar kepada Indonesia yang menginginkan kedaulatan. Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia terhindar dari banyaknya korban jiwa yang jatuh. Dimana dengan adanya perundingan tersebut dimaksudkan untuk mencegah peperangan. Perundingan Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai untuk mencapai tujuan adalah yang paling baik dan paling aman bagi Indonesia karena kelemahannya di bidang militer (Moedjanto, 1988:183).
Selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yaitu adanya gejolak dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan KNIP tidak secepatnya mengesahkan perjanjian linggarjati karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Hindia belanda ketimbang pihak Indonesia sendiri yang dimana Indonesia menghendaki kemerdekaan sepenuhnya. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI dan pengikut Tan Malaka begitu keras menentang perjanjian Linggarjati. Kelompok yang berseberangan menilai apa yang dilakukan Sjahrir adalah demi memperoleh kekuasaan. Namun pada dasarnya keberadaan Sjahrir bukanlah sebagai pengganti, akan tetapi pelengkap dan vital bagi Soekarno-Hatta. Pimpinan revolusi kemerdekaan Indonesiapun ada dalam tangan ketiga pimpinan yang saling mendukung dan sering disebut triumvirat de facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir (Loebis, 1992: 314-316). Walaupun pada akhirnya KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 setelah Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
Dampak yang lebih terasa lagi, adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia. Hal ini diakibatkan karena Belanda menganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian linggarjati. Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Agresi pun dilakukan keesokan harinya pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera dengan pesawat terbang melakukan pemboman dan penculikan petinggi negara Indonesia.Nah bagi temen temen yang ada tugas bikin presentasi untuk materi ini kebetulan admin pernah buat juga, untuk yang ingin mendownloadnya silahkan klik disini
Komentar
Posting Komentar