Baik yang setuju maupun tidak, tampaknya memiliki alasan masing-masing yang kuat. Namun, bagi saya, yang perlu di cermati adalah fenomena Islam itu sendiri di Jawa, ternyata tak berdiri sendiri (murni) seperti halnya bangsa Arab menjalankan ibadah. Itulah sebabnya, kalau ada istilah Islam Jawa pun sebenarnya tidak keliru. Setidaknya dalam paham tersebut telah terjadi senkreisme antara Islam dan budaya jawa (tradisi leluhur). Pencampuran yang kental demikian, telah memunculkan tradisi tersendiri yang unik di Jawa. Maksudnya, orang Jawa yang taat menjalankan Islam, kadang kadang masih enggan meninggalkan ritual Kejawen. Oleh sebab itu, apa salahnya Islam Jawa memang suatu sisi kehidupan religi yang patut dihormati.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah, ketika buku Woordward muncul menjadi terjemahan bahasa Indonesia, yang aslinya Islam in java, oleh penerjemahnya dipahami menjadi Islam Jawa (bukan Islam di Jawa). Dua istilah ini memang memiliki nuansa yang berbeda. Islam di Jawa memang belum seratus persen menjadi sebuah paham. Pemahaman Islam Jawa, mungkin juga didasarkan analogi munculnya keyakinan Hindu Jawa yang ada jauh sebelum Islam datang. Alasan lain, memang fakta cukup membuktikan bahwa agama Islam di Jawa memang sedikit tercampur dengan tindak budaya, karenanya layak disebut Islam Jawa.
Kehadiran Islam Jawa, umumnya dipelopori oleh paham mistik kejawen. Paham ini juga di motori oleh hadirnya aliran kebatinan yang cukup banyak di Jawa. Waktu itu, memang ada asumsi dengan masuknya Islam di Jawa agama asli jawa (kebatinan dan mistik) dianggap syirik. Apalagi, orang jawa sering melakukan tradisi ritual selametan, membakar kemenyan, dan sejumlah ritual pemujaan roh leluhur, tampaknya dianggap tindakan yang kurang sejalan dengan islam. Namun demikian, kalau serta merta apa yang dilakukan orang jawa dituduh syirik maka jelas akan menolak mentah-mentah, karena tradisi leluhurpun mengajarkan demikian. Untuk itu para wali mencoba memanfaatkan seni tradisi yang telah poluler di Jawa sebagai upaya penyenbaran Islam. Salah satu seni yang menarik perhatian waktu itu adalah tembang lir-ilir. Melalui tembang ini, Wali Songo mencoba menanamkan Islam yang halus dan etis.
Lagu lir-ilir tersebut merupakan bahan dakwah para Wali pada awal perkembangan agama Islam. Wali Songo menggunakan lagu ini sebagai simbol asosiasi penyebaran agama Islam. Alunan lagu yang ritmis dan menarik disertai makna religiusitas, justru mampu mengetuk hati orang jawa. Secara urut, lagu tersebut bermakna sebagai berikut.
lir-ilir tandure wus sumilir, berarti agama Islam di Jawa semakin subur dan terkenal. Orang Jawa semakin kenal dan menerima agama Islam. Hati mereka semakin bangkit untuk menjalankan agama Islam. Perkembangan Islam di Jawa ibarat padi sing ijo royo royo daksengguh penganten anyar. Maksudnya, masuknya agama Islam tersebut masih tergolong baru, seperti pengantin baru. Agama tersebut belum dikenal oleh seluruh orang Jawa, tetapi jelas menarik bagi mereka. Oleh karena itu para wali mencoba meluluhkan hati para penguasa dengan ungkapan cah anggon penekna blimbing kuwi. Artinya para penguasa (penggembala rakyat) di Jawa panjatkan buah blimbing (agama Islam, Simbol rukun Islam), segera masuk Islam. Jika penguasa telah masuk Islam lebih dahulu, maka rakyatnya akan lebih mudah mengikuti.
Itulah sebabnya, para wali selalu mensugestikan bahwa lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira, artinya meskipun agama Islam itu sulit (licin) tetapi harus senantiasa untuk diupayakan agar apat mencuci dodot (kain) secara bersih. Dodot adalah lambang agama suci atau keyakinan. Oleh karena, waktu itu orang Jawa masih menganut agama asli Jawa. maka akan dicuci dengan agama baru. Tegasnya agama Jawa asli itu dianggap dodotira kumitir bedhaning pinggir, artinya telah rusak dan harus dicuci serta ditambal sebagus bagusnya. Para wali selalu memerintahkan secara halus domanana jlumatana kanggi seba mengko sore, artinya agama yang telah rusak tadi harus diperbaiki agar kelak ketika menghadap Tuhan dapat sempurna. Paling tidak karena orang Jawa sendiri masih banyak waktu luang atau mumpung jembar kalangane mumpung gedhe rembulane suraka surak hore. Bersoraklah atau bersenang senanglah ketika mati nanti akan mendapat balasan amal yang setimpal.
Tegasnya, Islam Jawa memang sebuah fenomena yang mencoba menggabungkan antara agama dengan perilaku budaya. Karena itu, meskipun sedikit ragu, Damami (2002:94) menamakan perilaku religi Jawa demikian disebut Islam kultural. Islam kultural merupakan ritual agama yang tak murni lagi, melainkan sebuah pencampuran lembut di antara dua ataupun lebih aspek agama. Dalam istilah lain, Woordward menyebut Islam semacam itu sebagi "agama rakyat" (popular religion). Islam Jawa mungkin sebagai versus Islam normatif (santri)
Komentar
Posting Komentar